Kabupaten Semarang memiliki Potensi Pertanian Yang Banyak, Termasuk Teh Khas Tiamo Kecamatan Getasan Menjadi Jamuan Wajib Warga Dusun Sokowolu Tajuk.
Serasijateng.com, Getasan – Begitu banyak potensi pertanian yang dimiliki warga di Dusun Sokowolu, Desa Tajuk, Tiamo, di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, dimana selain sayur mayur yang banyak disuplai ke tengkulak, dan tembakaunya yang banyak dilirik pabrik rokok kenamaan, serta potensi wisata hutan pinus, kini Teh Tiamo pun juga menjadi potensi yang wajib diketahui masyarakat banyak, karena mulai banyak pecintanya.
Berkunjung di rumah Mbah Marinem, warga Dusun Sokowolu, Desa Tajuk, atau Tiamo, yang masuk wilayah Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, awak media diajak menuju ke dapur rumah pribadi Mbah Marinem.
Disana, kami pun diajak melihat langsung cara menyangrai daun teh yang baru saja dipetik Mbah Marinem di kebun sayur miliknya.
” Teh ini kami tanam dipinggir kebun sayur kami, dan rata-rata warga disini begitu cara menanamnya, sehingga di ladang sayur kami, pasti akan selalu ada tanaman pohon teh yang memang jumlahnya belum banyak itu kami tanam,” kata Mbah Marinem kepada awak media, Selasa (19/9/2023)
Sembari menyangrai daun-daun teh yang mulai kering di wajan bulat yang terbuat dari gerabah diatas api dari kayu kering, Mbah Marinem bercerita bahwa Teh Tiamo itu menjadi satu-satunya suguhan minuman wajib bagi tamu siapa saja yang datang ke Tiamo.
” Wajib, harus ada Teh Tiamo ini, karena teh ini merupakan ciri khas di Tiamo khususnya di dusun kami, Dusun Sokowolu sehingga dengan begitu tamu akan merasakan sensasi berbeda dari rasa teh ini dibandingkan dengan teh lainnya,” jelas Mbah Marinem.
Ya, Teh Tiamo ini memiliki aroma dan rasa yang khas, yang jarang ditemui di daerah lainnya. Teh Tiamo ini kental dengan rasa sepet khas dari daun teh. Bahkan, warnanya pun hijau kekuningan, saat pertama kali diseduh dengan air panas.
” Warnanya memang bening begini, hijau kekuningan saat pertama dan kedua kali diseduh air panas. Tapi kalau mau warnanya lebih merah, harus seduhan yang ketiga atau keempat kalinya. Kalau minum Teh Tiamo ini enaknya tidak pakai gula, tapikan itu selera ya mba, jadi ada yang suka tawar ada yang suka manis,” ujar Mbah Marinem.
Teh Tiamo itu belum dijual belikan secara bebas, atau di pasar diluar wilayah Tiamo, hal itu beralasan karena pohon Teh Tiamo yang belum banyak, dan pastinya tidak akan menjadi satu ciri khas dari desa disana.
” Kalau saya dan warga disini dijualnya hanya sesama warga sini saja, tidak dijual di luar. Karena memang teh inilah yang menjadi salah satu suguhan khas di desa kita, jadi siapapun yang ingin merasakan atau membeli Teh Tiamo ini, mari datang ke desa kami, beli dari kami langsung,” jelasnya.
Untuk proses pembuatan Teh Tiamo itu cukup terbilang mudah, kata Mbah Marinem, dimana ia hanya cukup memetik pucuk daun teh di pohon tersebut, lalu di cuci bersih, dan ditiriskan sejenak.
” Seusai ditiriskan sampai kering, baru disangrai sampai daun-daun Teh Tiamo itu layu dan sedikit berwarna kecoklatan. Barulah bisa dikonsumsi sebagai minuman Teh Tiamo khas di desa sini, tinggal di seduh air panas untuk satu teko cukup ambil sekitar 3 sampai 5 sendok makan Teh Tiamo lalu diamkan sejenak, sampai berwarna hijau kekuningan. Barulah bisa diberi gula aren, atau gula pasir untuk menikmatinya, bisa juga dinikmati secara tawar atau tidak pakai gula,” jelas Mbah Marinem.
Kebiasaan mengkonsumi Teh Tiamo itu nyatanya sudah sejak dari lama, para sesepuh di dusun itu selalu menanam pohon teh di ladang yang mereka miliki.
” Kebiasaan ini sudah ada sejak lama, zaman mbah-mbah kita, mereka menanam sendiri pohon teh ini dan memetik daun yang posisinya paling atas atau pucuk, sehingga teh ini kurang lebih rasanya hampir sama dengan teh hijau murni yang juga banyak dijual di pasaran. Namun, yang membedakan adalah rasa sepetnya yang khas dari daun teh. Bahkan, warnanya pun hijau kekuningan, saat pertama kali diseduh dengan air panas.
” Warnanya memang bening begini, hijau kekuningan saat pertama dan kedua kali diseduh air panas. Tapi kalau mau warnanya lebih merah, harus seduhan yang ketiga atau keempat kalinya. Kalau minum Teh Tiamo ini enaknya tidak pakai gula, tapikan itu selera ya mba, jadi ada yang suka tawar ada yang suka manis,” kata Mbah Marinem.
Teh Tiamo itu belum dijual belikan secara bebas, atau di pasar diluar wilayah Tiamo, hal itu beralasan karena pohon Teh Tiamo yang belum banyak, dan pastinya tidak akan menjadi satu ciri khas dari desa disana.
” Kalau saya dan warga disini dijualnya hanya sesama warga sini saja, tidak dijual di luar. Karena memang teh inilah yang menjadi salah satu suguhan khas di desa kita, jadi siapapun yang ingin merasakan atau membeli Teh Tiamo ini, mari datang ke desa kami, beli dari kami langsung,” lanjutnya kepada awak media.
Untuk proses pembuatan Teh Tiamo itu cukup terbilang mudah, kata Mbah Marinem, dimana ia hanya cukup memetik pucuk daun teh di pohon tersebut, lalu di cuci bersih, dan ditiriskan sejenak.
” Seusai ditiriskan sampai kering, baru disangrai sampai daun-daun Teh Tiamo itu layu dan sedikit berwarna kecoklatan. Barulah bisa dikonsumsi sebagai minuman Teh Tiamo khas di desa sini, tinggal di seduh air panas untuk satu teko cukup ambil sekitar 3 sampai 5 sendok makan Teh Tiamo lalu diamkan sejenak, sampai berwarna hijau kekuningan. Barulah bisa diberi gula aren, atau gula pasir untuk menikmatinya, bisa juga dinikmati secara tawar atau tidak pakai gula,” jelas Mbah Marinem.
Kebiasaan mengkonsumi Teh Tiamo itu nyatanya sudah sejak dari lama, para sesepuh di dusun itu selalu menanam pohon teh di ladang yang mereka miliki.
” Kebiasaan ini sudah ada sejak lama, zaman mbah-mbah kita, mereka menanam sendiri pohon teh ini dan memetik daun yang posisinya paling atas atau pucuk, sehingga teh ini kurang lebih rasanya hampir sama dengan teh hijau murni yang juga banyak dijual di pasaran. Namun, yang membedakan adalah rasa sepetnya yang pekat kalau di Teh Tiamo ini,” tuturnya.
Mbah Marinem juga mengungkapkan, untuk harga Teh Tiamo ini memang dijual cukup murah. Untuk satu “ceting” daun teh yang sudah disangrai, hanya dihargai sekitar Rp 10 ribu oleh Mbah Marinem.
” Kami tidak menjualnya setiap hari, karena memang keterbatasan pohon Teh Tiamo yang jumlahnya tidak banyak. Oleh karena itu Teh Tiamo ini tidak dipasarkan secara luas, meskipun sebenarnya kami ingin menuju ke sana. Tapi jika seperti itu, ciri khas Teh Tiamo yang enak dinikmati saat berkunjung ke desa kami pasti lama kelamaan akan tergerus, oleh karena itu kami masih mempertahankan tradisi ini,” tandas Mbah Marinem.(Arie B)